RSS
Diberdayakan oleh Blogger.

Kisah di Sekolah (Maret Momen)


Aku merindukan bangku sekolah…

Saat guru sedang marah dan memberi hukuman karena tidak mengerjakan PR. Suasana kelas yang super rebut seperti pasar. Melakukan konser laksana seorang Diva yang menyanyi begitu nyaring dan merdunya, lalu sebagian lainnya memukul-mukul meja dan bertepuk tangan dalam satu irama. Betapa lucunya tingkah mereka, yang membunuh kebosanan dengan sejuta kehebohan. Bercerita atau berfoto-foto ria saat tidak ada pelajaran, hingga tugas pun terabaikan. Serta mengeluarkan jurus jitu rayuan maut ketika guru berkata, “Siapkan selembar kertas untuk ulangan!”. Lalu serentak kami menjawab dengan wajah bening nan memikat layaknya seorang malaikat, “Belum siap Bu, kita belum belajar. Minggu depan saja ya.” Sungguh alasan yang konyol. Karena tugas seorang pelajar adalah belajar, bukan pacaran atau berkelana di dunia maya. Ya beginilah remaja jaman sekarang. Hampir setiap waktunya habis terbuang sia-sia dengan kegiatan yang tidak berguna. Tak dapat dipungkiri jika yang merangkai kalimat-kalimat ini juga seperti itu adanya.

Aku masih ingat saat itu…

Saat melarikan diri jika ada remidi. Makan di kantin atau sekedar nongkrong meski jam pelajaran sudah berjalan. Seolah tak peduli dengan guru yang mungkin sedang menunggu sendiri di dalam kelas, kita tetap asyik dengan kegiatan di kantin. Mungkin karena malas pada guru yang selalu membosankan atau yang suka memberi tugas seabrek tanpa diterangkan. Hingga datanglah sosok tinggi besar yang paling ditakuti di sekolah ini. Ia berteriak dengan suara lantang untuk mengusir siswa yang masih tinggal di kantin. Dialah guru ketertiban yang bermuka garang. Alhasil, semua siswa lari terbirit-birit. Entah kemana tujuannya, yang jelas mereka dapat kabur dari seorang guru killer agar tak dapat omelan apalagi hukuman.

Setiap malam sebelum tidurku…

Aku selalu membayangkan masa-masa indah bersama teman-teman. Teman adalah segalanya bagiku. Terkadang, aku lebih percaya pada teman dari pada orang tuaku. Bukan berarti aku tidak mempercayai ayah dan ibu, tetapi aku lebih nyaman berbagi keluh kesah pada seorang teman. Teman memang lebih sensitif. Ia lebih jeli memperhatikan tingkah laku kita. Ia akan segera tahu kalau kita sedang gelisah, sedih, kecewa atau marah. Sebaik apapun akting kamu, teman pasti mengetahui apa yang kamu rasakan. Teman tak bisa dibohongi saat kita tersenyum laksana malaikat tak berdosa sembari berkata, “Nggak ada masalah apa-apa kok. Aku baik-baik saja.”. Dan teman pun tak mau kalah. Ia terus memaksa hingga kita angkat bicara. Teman memaksa bukan karena ia marah atau sok pengen tahu, tetapi karena teman itu peduli. Ia hanya ingin memastikan jika kita baik-baik saja. Kalaupun ada masalah, mereka tak ragu untuk turun tangan membantu menyelesaikannya. Jika kita marah, teman akan menenangkannya. Jika kita sedih, teman juga larut dalam kesedihan kita. Jika kita kecewa, teman selalu menguatkan kita. Namun jika kita bahagia, teman terlupakan oleh kita. Ya begitulah faktanya yang lebih dari 90% dijamin kebenarannya. Tenang saja, teman sejati tidak akan menjahui kita. Ia selalu mengerti dan memahami tanpa pamrih.

Aku melirik kalender di dinding…

Hei, sudah bulan maret. Hatiku melonjak girang saat menyadari bahwa bulan maret telah tiba. Maret yang ku tunggu, ku harap cepat berlalu. Aku sudah lelah menjalani hari-hari di lingkungan kerja. Januari februari ku lewati penuh asa. Tak ada teman di sisiku, tak ada teman di sekelilingku. Maklum, sekolah hanya mengirimkan dua siswa untuk setiap tempat praktek kerja industri. Dua bulan aku di sana, dua bulan aku tak datang ke sekolah, selama dua bulan aku menyimpan rindu yang membara. Aku merindukan sentuhan hangatnya dan belaian lembutnya. Kalau boleh memilih, lebih baik pelajaran fisika kima selama empat jam penuh dari pada harus bekerja meski hanya satu jam saja. Bekerja begitu melelahkan bagiku. Tak seperti di sekolah, walau sejak pagi hingga petang mengerjakan tugas yang rumit sekalipun tak terasa sama sekali. Itu karena teman. Teman pandai memainkan suasana. Mengubah suasana tegang menjadi nyaman, penuh canda dan tawa. Ah, aku sudah tidak sabar untuk kembali ke sekolah. Ayo maret, cepatlah berlalu. Maret yang ku tunggu. Karena maret, akhir dari penantianku.



Aku seperti orang gila…

Tersenyum sendiri, bahkan tertawa tak bisa terhenti. Padahal tak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan kenanganku. Ya, kenanganku bersama teman-teman. Sebelum mengakhiri kisahku hari ini, ku sempatkan ‘tuk membuka buku biru yang terpajang rapi di atas meja. Buku spesial untuk aku dan teman-temanku. Ada berpuluh-puluh foto di dalamnya dengan ekspresi yang beragam pula. Penyakit narsis dan lebay telah merasuk dalam jiwa masing-masing. Tak dapat dipungkiri jika ada semboyan “Tiada hari tanpa berfoto”. Hehehe, semboyan ngawur buatan sendiri. Jemariku bergerak lembut membuka setiap lembar halaman dalam buku itu. Sesaat aku tertawa spontan ketika melihat wajah-wajah nan lucu bergaya di depan kamera dengan mata melotot atau memanyunkan bibir. Dan sampailah aku pada halaman terakhir buku biru penuh kenangan itu. Tanpa terasa ku teteskan air mata, saat melihat foto yang menurutku paling berkesan. Ada aku dan teman-teman yang duduk manis dan berbaris rapi. Memasang senyum indah nan mempesona. Bukan itu yang membuatku terharu, tetapi tulisan tangan di bawah foto itu. “Di dalam kebersamaan, merangkai sebuah harmoni kesetiaan”. Entah siapa yang menulis pesan itu. Yang jelas, akan slalu ku jaga ikatan di antara kita. Dan kenangan-kenangan itu, akan slalu tersimpan di memori ingatanku. Aku sayang kalian teman :)

Ditulis oleh pelajar yang tidak nakal dan tidak pintar.
9 Maret 2011, 18.59 WIB, saat merindukan teman di sekolah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Zhila And Friends :)